A. Penyakit yang Menyertai Kehamilan dan Persalinan
1. Tuberkulosis Paru
Kehamilan tidak banyak memberikan pengaruh terhadap cepatnya perjalanan penyakit ini, banyak penderita tidak mengeluh sama sekali. Keluhan yang sering ditemukan adalah batuk-batuk yang lama, badan terasa lemah, nafsu makan berkurang, BB menurun, kadang-kadang ada batuk darah, dan sakit di dada. Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan adanya ronkhi basal, suara caverne atau pleural effusion. Penyakit ini mungkin bentuknya aktif atau kronik, dan mungkin pula tertutup atau terbuka.
Pada penderita yang dicurigai menderita TBC Paru sebaiknya dilakukan pemeriksaan tuberkulosa tes kulit dengan PPD (puirified protein derivate) 5u, bila hasil positif dilanjutkan dengan pemeriksaan foto dada. Perlu diperhatikan dan dilindungi janin dari pengaruh sinar X, pada penderita TBC Paru aktif perlu dilakukan pemeriksaan sputum BTA untuk membuat diagnosis secara pasti sekaligus untuk tes kepekaan / uji sensitivitas. Pada janin dengan ibu TBC Paru jarang dijumpai TBC congenital, janin baru tertular penyakit setelah lahir, karena dirawat atau disusui ibunya.
Penatalaksanaan :S
Penyakit ini akan sembuh dengan baik bila pengobatan yang diberikan dipatuhi oleh penderita, berikan penjelasan dan pendidikan kepada pasien bahwa penyakitnya bersifat kronik sehingga diperlukan pengobatan yang lama dan teratur. Ajarkan untuk menutup mulut dan hidungnya bila batuk, bersin dan tertawa.
Sebagian besar obat anti TBC aman untuk wanita hamil, kecuali streptomisin yang bersifat ototoksik bagi janin dan harus diganti dengan etambutol, pasien hamil dengan TBC Paru yang tidak aktif tidak perlu mendapat pengobatan. Sedangkan pada yang aktif dianjurkan untuk menggunakan dua macam obat atau lebih untuk mencegah timbulnya resistensi kuman, dan isoniazid (INH) selalu diikutkan karena paling aman untuk kehamilan, efektifitasnya tinggi dan harganya lebih murah.
Obat-obatan yang dapat digunakan
1. Isoniazid (INH) 300 mg/hari. Obat ini mungkin menimbulkan komplikasi pada hati sehingga timbul gejala-gejala hepatitis berupa nafsu makan berkurang, mual dan muntah. Oleh karena itu –perlu diperiksa faal hati sewaktu-waktu dan bila ada perubahan untuk sementara obat harus segera dihentikan.
2. Etambutol 15-20 mg/kg/hari. Obat ini dapat menimbulkan komplikasi retrobulber neuritis, akan tetapi efek samping dalam kehamilan sangat sedikit dan pada janin belum ada.
3. Streptomycin 1gr/hari. Obat ini harus hati-hati digunakan dalam kehamilan, jangan digunakan dalam kehamilan trimester I. Pengaruh obat ini pada janin dapat menyebabkan tuli bawaan (ototoksik). Disamping itu obat ini juga kurang menyenangkan pada penderita karena harus disuntikan setiap hari.
4. Rifampisin 600mg/hari. Obat ini baik sekali untuk pengobatan TBC Paru tetapi memberikan efek teratogenik pada binatang poercobaan sehingga sebaiknya tidak diberikan pada trimester I kehamilan.
Pemeriksaan sputum harus dilakukan setelah 1-2 bulan pengobatan, jika masih positif perlu diulang tes kepekaan kuman terhadap obat, bila pasien sudah sembuh lakukan persalinan secar biasa. Pasien TBC aktif harus ditempatkan dalam kamar bersalin terpisah, persalinan dibantu Ekstraksi Vacum atau Forcep. Usahakan pasien tidak meneran, berikan masker untuk menutupi mulut dan hidung agar kuman tidak menyebar. Setelah persalinan pasien dirawat di ruang observasi 6-8 jam, kemudian dapat dipulangkan langsung. Pasien diberi obat uterotonika dan obat TBC tetap harus diteruskan. Penderita yang tidak mungkin pulang harus dirawat di ruang isolasi, karena bayi cukup rentan terhadap penyakit ini, sebagian besar ahli menganjurkan pemisahan dari ibu jika ibu dicurigai menderita TBC aktif, sampai ibunya tidak memperlihatkan tanda-tanda proses aktif lagi setelah dibuktikan dengan pemeriksaan sputum sebanyak 3 kali yang selalu memperlihatkan hasil negatif.
Pasien TBC yang menyusui harus mendapat regimen pengobatan yang penuh. Semua obat anti TBC sesuai untuk laktasi sehingga pemberian laktasi dapat dengan aman dan normal. namun bayi harus diberi suntikan mantoux, mendapat profilaksis INH dan imunisasi BCG.
2. Jantung
Etiologi
Sebagian besar disebabkan demam reumatik. Bentuk kelainan katup yang sering dijumpai adalah stenosis mitral, insufisiensi mitral, gabungan stenosis mitral dengan insufisiensi mitral, stenosis aorta, insufisiensi aorta, gabungan antara insufisiensi aorta dan stenosis aorta, penyakit katupulmonal dan trikuspidal.
Faktor Predisposisi
Peningkatan usia pasien dengan penyakit jantung hipertensi dan superimposed preeklamsi atau eklamsi, aritmia jantung atau hipertrofi ventrikel kiri, riwayat decompensasi cordis, anemia.
Patofisiologi
Keperluan janin yang sedang bertumbuh akan oksigen dan zat-zat makanan bertambah dalam berlangsungnya kehamilan, yang harus dipenuhi melalui darah ibu. Untuk itu banyaknya darah yang beredar bertambah, sehingga jantung harus bekerja lebih berat. Karena itu dalam kehamilan selalu terjadi perubahan dalam system kardiovaskuler yang baisanya masih dalam batas-batas fisiologik. Perubahan-perubahan itu terutama disebabkan karena :
1. Hidrenia (Hipervolemia), dimulai sejak umur kehamilan 10 minggu dan puncaknya pada UK 32-36 minggu
2. Uterus gravidus yang makin lama makin besar mendorong diafragma ke atas, ke kiri, dan ke depan sehingga pembuluh-pembuluh darah besar dekat jantung mengalami lekukan dan putaran.
Volume plasma bertambah juga sebesar 22 %. Besar dan saat terjadinya peningkatan volume plasma berbeda dengan peningkatan volume sel darah merah ; hal ini mengakibatkan terjadinya anemia delusional (pencairan darah).
12-24 jam pasca persalinan terjadi peningkatan volume plasma akibat imbibisi cairan dari ekstra vascular ke dalam pembuluah darah, kemudian di ikuti periode deuresis pasca persalinan yang mengakibatkan hemokonsentrasi (penurunan volume plasa). 2 minggu pasca persalinan merupakan penyesuaian nilai volume plasma seperti sebelum hamil.
Jantung yang normal dapat menyesuaikan diri, tetapi jantung yang sakit tidak. Oleh karena itu dalam kehamilan frekuensi denyut jantung meningkat dan nadi rata-rata 88x/menit dalam kehamilan 34-36 minggu. Dalam kehamilan lanjut prekordium mengalami pergeseran ke kiri dan sering terdengar bising sistolik di daerah apeks dan katup pulmonal. Penyakit jantung akan menjadi lebih berat pada pasien yang hamil dan melahirkan, bahkan dapat terjadi decompensasi cordis.
Manifestasi Klinis
Mudah lelah, nafas terengah-engah, ortopnea, dan kongesti paru adalah tanda dan gejala gagal jantung kiri. Peningkatan berat badan, edema tungkai bawah, hepato megali, dan peningkatan tekanan vena jugularis adalah tanda dan gejala gagal jantung kanan. Namun gejala dan tanda ini dapat pula terjadi pada wanita hamil normal. Biasanya terdapat riwayat penyakit jantung dari anamnesis atau dalam rekam medis.
Perlu diawasi saat-saat berbahaya bagi penderita penyakit jantung yang hamil yaitu :
1. Antara minggu ke 12 dan 32. Terjadi perubahan hemodinamik, terutama minggu ke 28 dan 32, saat puncak perubahan dan kebutuhan jantung maksimum
2. Saat persalinan. Setiap kontraksi uterus meningkatkan jumlah darah ke dalam sirkulasi sistemik sebesar 15 - 20% dan ketika meneran pada partus kala ii, saat arus balik vena dihambat kembali ke jantung.
3. Setelah melahirkan bayi dan plasenta. Hilangnya pengaruh obstruksi uterus yang hamil menyebabkan masuknya darah secara tiba-tiba dari ekstremitas bawah dan sirkulasi uteroplasenta ke sirkulasi sistemik.
4. 4-5 hari seetelah peralinan. Terjadi penurunan resistensi perifer dan emboli pulmonal dari thrombus iliofemoral.
Gagal jantung biasanya terjadi perlahan-lahan, diawali ronkhi yang menetap di dasar paru dan tidak hilang seteah menarik nafas dalam 2-3 kali.
Gejala dan tanda yang biasa ditemui adalah dispnea dan ortopnea yang berat atau progresif, paroxysmal nocturnal dyspnea, sinkop pada kerja, nyeri dada, batuk kronis, hemoptisis, jari tabuh, sianosis, edema persisten pada ekstremitas, peningkatan vena jugularis, bunyi jantung I yang keras atau sulit didengar, split bunyi jantung II, ejection click, late systolic click, opening snap, friction rub, bising sistolik derajat III atau IV, bising diastolic, dan cardio megali dengan heaving ventrikel kiri atau kanan yang difus.
Pemeriksaan Penunjang
Selain pemeriksaan laboratorium rutin juga dilakukan pemeriksaan :
1. EKG untuk mengetahui kelainan irama dan gangguan konduksi, kardiomegali, tanda penyakit pericardium, iskemia, infark. Bisa ditemukan tanda-tanda aritmia.
2. Ekokardigrafi. Meteode yang aman, cepat dan terpercaya untuk mengetahu kelainan fungsi dan anatomi dari bilik, katup, dan peri kardium
3. Pemeriksaan Radiologi dihindari dalam kehamilan, namun jika memang diperlukan dapat dilakukan dengan memberi perlindung diabdomen dan pelvis.
Diagnosis
Burwell dan Metcalfe mengajukan 4 kriteria. Diagnosis ditegakkan bila ada satu dari kriteria :
1. Bising diastolic, presistolik, atau bising jantung terus menerus
2. Pembesaran jantung yang jelas
3. Bising sistolik yang nyaring, terutama bila disertai thrill
4. Arimia berat
Pada wanita hamil yang tidak menunjukan salah satu gejala tersebut jarang menderita penyakit jantung. Bila terdapat gejala decompensasi jantung pasien harus di golongkan satu kelas lebih tinggi dan segera dirawat
Klasifikasi penyakit jantung dalam kehamilan
Kelas I
• Tanpa pembatasan kegiatan fisik
• Tanpa gejala penyakit jantung pada kegiatan biasa
Kelas II
• Sedikit pembatasan kegiatan fisik
• Saat istirahat tidak ada keluhan
• Pada kegiatan fisik biasa timbul gejala isufisiensi jantung seperti: kelelahan, jantung berdebar (palpitasi cordis), sesak nafas atau angina pectoris
Kelas III
• Banyak pembatasan dalam kegiatan fisik
• Saat istirahat tidak ada keluhan
• Pada aktifitas fisik ringan sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung
Kelas IV
• Tidak mampu melakukan aktivitas fisik apapun
Komplikasi
Pada ibu dapat terjadi : gagal jantung kongestif, edema paru, kematian, abortus.
Pada janin dapat terjadi : prematuritas, BBLR, hipoksia, gawat janin, APGAR score rendah, pertumbuhan janin terhambat.
Penatalaksanaan
Sebaiknya dilakukan dalam kerjasama dengan ahli penyakit dalam atau ahli jantung. Secara garis besar penatalksanaan mencakup mengurangi beban kerja jantung dengan tirah baring, menurunkan preload dengan deuretik, meningkatkan kontraktilitas jantung dengan digitalis, dan menurunkan after load dengan vasodilator.
Penatalaksanaan dilakukan berdasarkan klasifikasinya yaitu :
Kelas I
Tidak memerlukan pengobatan tambahan
Kelas II
Umumnya tidak memerlukan pengobatan tambahan, hanya harus menghindari aktifitas yang berlebihan, terutama pada UK 28-32 minggu. Pasien dirawat bila keadaan memburuk.
Kedua kelas ini dapat meneruskan kehamilan sampai cukup bulan dan melahirkan pervaginam, namun harus diawasi dengan ketat. Pasien harus tidur malam cukup 8-10 jam, istirahat baring minimal setengah jam setelah makan, membatasi masuknya cairan (75 mll/jam) diet tinggi protein, rendah garam dan membatasi kegiatan. Lakukan ANC dua minggu sekali dan seminggu sekali setelah 36 minggu. Rawat pasien di RS sejak 1 minggun sebelum waktu kelahiran. Lakukan persalinan pervaginam kecuali terdapat kontra indikasi obstetric. Metode anastesi terpilih adalah epidural
Kala persalinan biasanya tidak berbahaya. Lakukan pengawasan dengan ketat. Pengawasan kala I setiap 10-15 menit dan kala II setiap 10 menit. Bila terjadi takikardi, takipnea, sesak nafas (ancaman gagal jantung), berikan digitalis berupa suntikan sedilanid IV dengan dosis awal 0,8 mg, dapat diulang 1-2 kali dengan selang 1-2 jam. Selain itu dapat diberi oksigen, morfin (10-15 mg), dan diuretic.
Pada kala II dapat spontan bila tidak ada gagal jantung. Bila berlangsung 20 menit dan ibu tidak dapat dilarang meneran akhiri dengan ekstraksi cunam atau vacum dengan segera
Tidak diperbolehkan memaki ergometrin karena kontraksi uterus yang bersifat tonik akan menyebabkan pengembalian darah ke sirkulasi sistemik dala jumlah besar.
Rawat pasien sampai hari ke 14, mobilisasi bertahap dan pencegahan infeksi, bila fisik memungkinkan pasien dapat menusui.
Kelas III
Dirawat di RS selam hamil terutama pada UK 28 minggu dapat diberikan diuretic
Kelas IV
Harus dirawat di RS
Kedua kelas ini tidak boleh hamil karena resiko terlalu berat. Pertimbangkan abortus terapeutik pada kehamilan kurang dari 12 minggu. Jika kehamilan dipertahankan pasien harus terus berbaring selama hamil dan nifas. Bila terjadi gagal jantung mutlak harus dirawat dan berbaring terus sampai anak lahir. Dengan tirah baring, digitalis, dan diuretic biasanya gejala gagal jantung akan cepat hilang.
Pemberian oksitosin cukup aman. Umumnya persalinan pervaginam lebih aman namun kala II harus diakhiri dengan cunam atau vacuum. Setelah kala III selesai, awasi dengan ketat, untuk menilai terjadinya decompensasi atau edema paru. Laktasi dilarang bagi pasien kelas III dan IV.
Operasi pada jantungn untuk memperbaiki fungsi sebaiknya dilakukan sebelum hamil. Pada wanita hamil saat yang paling baik adalah trimester II namun berbahaya bagi bayinya karena setelah operasi harus diberikan obat anti pembekuan terus menerus dan akan menyebabkan bahaya perdarahan pada persalinannya. Obat terpilih adalah heparin secara SC, hati-hati memberikan obat tokolitik pada pasien dengan penyakit jantung karena dapat menyebabkan edema paru atau iskemia miocard terutama pada kasus stenosis aorta atau mitral.
Prognosis
Prognosis tergantung klasifikasi, usia, penyulit lain yang tidak berasal dari jantung, penatalaksanaan, dan kepatuhan pasien. Kelainan yang paling sering menyebabkan kematian adalah edema paru akut pada stenosis mitral. Prognosis hasil konsepsi lebih buruk akibat dismaturitas dan gawat janin waktu persalinan.
3. Diabetes Melitus
Diabetes mellitus pada kehamilan adalah intoleransi karbohidrat ringan (toleransi glukosa terganggu) maupun berat (DM), terjadi atau diketahui pertama kali saat kehamilan berlangsung. Definisi ini mencakup pasien yang sudah mengidap DM (tetapi belum terdeteksi) yang baru diketahui saat kehamilan ini dan yang benar-benar menderita DM akibat hamil
Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan karbohidrat yang meninjang pemasokan makanan bagi janin serta persiapan untuk menyusui. Glukosa dapat berdifusi secara tetap melalui plasenta kepada janin sehingga kadarnya dalam darah janin hampir menyerupai kadar darah ibu. Insulin ibu tidak dapat mencapai janin sehingga kadar gula ibu yang mempengaruhi kadar pada janin. Pengendalian kadar gula terutama dipengaruhi oleh insulin, disamping beberapa hormon lain : estrogen, steroid dan plasenta laktogen. Akibat lambatbya resopsi makanan maka terjadi hiperglikemi yang relatif lama dan ini menuntut kebutuhan insulin.
Diagnosis
Deteksi dini sangat diperlukan agar penderita DM dapat dikelola sebaik-baiknya. Terutama dilakukan pada ibu dengan factor resiko berupa beberapa kali keguguran, riwayat pernah melahirkan anak mati tanpa sebab, riwayat melahirkan bayi dengan cacat bawaan, melahirkan bayi lebih dari 4000 gr, riwayat PE dan polyhidramnion.
Juga terdapat riwayat ibu : umur ibu > 30 tahun, riwayat DM dalam keluarga, riwayat DM pada kehamilan sebelumnya, obesitas, riwayat BBL > 4500 gr dan infeksi saluran kemih berulang selama hamil.
Klasifikasi
a. Tidak tergantung insulin (TTI) – Non Insulin Dependent diabetes mellitus (NIDDN) yaitu kasus yang tidak memerlukan insulin dalam pengendalian kadar gula darah.
b. Tergantung insulin (TI) – Insulin dependent Diabetes Melitus yaitu kasus yan memerlukan insulin dalam mengembalikan kadar gula darah.
Komplikasi
Maternal : infeksi saluran kemih, hydramnion, hipertensi kronik, PE, kematian ibu
Fetal : abortus spontan, kelainan congenital, insufisiensi plasenta, makrosomia, kematian intra uterin,
Neonatal : prematuritas, kematian intra uterin, kematian neonatal, trauma lahir, hipoglikemia, hipomegnesemia, hipokalsemia, hiperbilirubinemia, syndroma gawat nafas, polisitemia.
Penatalaksanaan
Prinsipnya adalah mencapai sasaran normoglikemia, yaitu kadar glukosa darah puasa < 105 mg/dl, 2 jam sesudah makan < 120 mg/dl, dan kadar HbA1c<6%. Selain itu juga menjaga agar tidak ada episode hipoglikemia, tidak ada ketonuria, dan pertumbuhan fetus normal. Pantau kadar glukosa darah minimal 2 kali seminggu dan kadar Hb glikosila. Ajarka pasien memantau gula darah sendiri di rumah dan anjurkan untuk kontrol 2-4 minggu sekali bahkan lebih sering lagi saat mendekati persalinan. Obat hipoglikemik oral tidak dapat dipakai saat hamil dan menyusui mengingat efek teratogenitas dan dikeluarkan melalui ASI, kenaikan BB pada trimester I diusahakan sebesar 1-2,5 kg dan selanjutnya 0,5 kg /minggu, total kenaikan BB sekitar 10-12 kg. Penatalaksanaan Obstetric Pantau ibu dan janin dengan mengukur TFU, mendengarkan DJJ, dan secara khusus memakai USG dan KTG. Lakukan penilaian setiap akhir minggu sejak usia kehamilan 36 minggu. Adanya makrosomia pertumbuhan janin terhambat dan gawat janin merupakan indikasi SC. Janin sehat dapat dilahirkan pada umur kehamilan cukup waktu (40-42 minggu) dengan persalinan biasa. Ibu hamil dengan DM tidak perlu dirawat bila keadaan diabetesnya terkendali baik, namun harus selalu diperhatikan gerak janin (normalnya >20 kali/12 jam). Bila diperlukan terminasi kehamilan, lakukan amniosentesis dahulu untuk memastikan kematangan janin (bila UK <38 minggu). Kehamilan dengan DM yang berkomplikasi harus dirawat sejak UK 34 minggu dan baisanya memerlukan insulin. 4. Asma Asma Bronkiale merupakan salah satu penyakit saluran nafas yang sering dijumpai dalam kehamilan dan persalinan. Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya asma tidak sama pada setiap penderita, bahkan pada seorang penderita asma, serangannya tak sama pada kehamilan pertama dan berikutnya. Biasanya serangan akan timbul mulai UK 24-36 minggu dan pada akhir kehamilan jarang terjadi serangan. Komplikasi Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat tergantung dari sering dan beratnya serangan, karena ibu dan janin akan kekurangan oksigen atau hipoksia. Keadaan hipoksia bila tidak segera diatasi tentu akan berpengaruh pada janin dan sering terjadi keguguran, partus premature dan gangguan petumbuhan janin. Manifestasi Klinis Factor pencetus timbulnya asma antara lain zat-zat alergi, infeksi saluran nafas, pengaruh udara dan factor psikis. Penderita selama kehamilan perlu mendapat pengawasan yang baik, biasanya penderita mengeluh nafas pendek, berbunyi, sesak, dan batuk-batuk. Diagnosis dapat ditegakkan seperti asma diluar kehamilan. Penatalaksanaan 1. mencegah timbulnya stress 2. Menghindari factor resiko/pencetus yang sudah diketahui secara intensif 3. Mencegah penggunaan obat seperti aspirin dan semacamnya yang dapat menjadi pencetus timbulnya serangan 4. Pada asma yang ringan dapat digunakan obat-obat local yang berbentuk inhalasi, atau peroral seperti isoproterenol 5. Pada keadaan lebih berat penderita harus dirawat dan serangan dapat dihilangkan dengan 1atau lebih dari obat dibawah ini a. Epinefrin yang telah dilarutkan (1:1000), 0,2-0,5 ml disuntikan SC b. Isoproterenol (1:100) berupa inhalasi 3-7 hari c. Oksigen d. Aminopilin 250-500 mg (6mg/kg) dalam infus glukosa 5 % e. Hidrokortison 260-1000 mg IV pelan-pelan atau per infus dalam D10% Hindari penggunaan obat-obat yang mengandung iodium karena dapat membuat gangguan pada janin, dan berikan antibiotika kalau ada sangkaan terdapat infeksi. Upayakan persalinan secara spontan namun bila pasien berada dalam serangan, lakukan VE atau Forcep. SC atas indikasi asma jarang atau tak pernah dilakukan. Jangan berikan analgesik yang mengandung histamin tapi pilihlah morfin atau analgesik epidural. Dokter sebaiknya memilih obat yang tidak mempengaruhi ASI. Aminopilin dapat terkandung dalam ASI sehingga bayi mengalami gangguan pencernaan, gelisah, dan ganggguan tidir. Namun obat anti asma lainnya dan kortikosteroid umumnya tidak berbahaya karena kadarnya dalam ASI sangat kecil. B. Infeksi yang Menyertai Kehamilan dan Persalinan (TORCH) 1. TOXOPLASMOSIS a. Temuan klinis Toxoplasmosis adalah penyakit infeksi yang disebsbkan oleh toxoplasma gondii. Ibu dengan toxoplasma gondii biasanya tidak menampakan gejala walaupun 10%-20% ibu yang terinfeksi didapatkan adanya iymphadenopathy. Infeksi dapat ditemukan pada sindrom mononucleosislike dengan adanya kelelahan dan lesu, jarang terjadi pada encephalitis. BBL dengan menderita toxoplasma congenital terinfeksi saat berada di dalam uterus secara transplacental. Choriuretinitis merupakan manifestasi klinis yang serinng muncul apada BBL sebagai gejala toxoplasma. Berikut adalah temuan-temuan yang didapatkan pada bayi dengan infeksi toxoplasma congenital: chorioretinitis, hydrocephalus, penyakit kuning, hepatosplenomegali, mikrosefali, glaucoma, kejang, demam, hipotermi, limpadenopati, mual, diare, katarak, mikroftalmia, syaraf mata atrofi, pneumonia. b. Penularan 1) Kucing Organisme tempat toxoplasma gondii hidup adalah kucing. Sekitar ½ dari beberapa kucing yang diuji mempunyai antibody toxoplasma. Ini berarti bahwa kucing tersebut terinfeksi karena memakan hewan pengerat dan burung pemakan daging yang terinfeksi. Satu minggu setelah terinfeksi, kucing mengeluarkan oocyst yang terdapat pada fesesnya. Pengeluaran oocyst terus menerus sampai sekitar 2 minggu sebelum kucing itu sembuh atau pulih kembali. Hewan ini mudah terinfeksi lagi dan dapat mengeluarkan oocyst ketika terinfeksi oleh organisme lain. Feses kucing sudah sangat infeksius. Oocyst dalam feses menyebar melalui udara dan ketika dihirup akan dapat menyebabkan infeksi. Sporulasi organisme ini terjadi setelah 1-5 hari dalam kotoran dan dapat dicegah dengan pembuangan sampat setiap hari. Jika oocyst terkandung dalam tanah sisa-sisa partikel berada di atasnya dan akan terbawa arus air hujan. Sisa oocyst dapat bertahan hidup sampai lebih dari 1 tahun tetapi tidak aktif dalam keadaan beku, kekeringan, panas lebih dari 50 C atau terkontak dengan ammonia, biodin atau formalin. 2) Daging Wabah “christiaan barand” adalah contoh penularan toxoplasma melalui daging. Konsumsi daging yang terinfeksi adalah penyebab utama toxoplasma di Eropa, dimana dibatasinya penggunaan lemari pendingin dan biasanya daging tidak dibekukan. Seharusnya daging dimasak pada suhu yang tinggi untuk mecegah terjadinya penularan toxoplasma c. Diagnosis 1) Ibu Diagnosa klinis toxoplasma akut tidak dapat dipercaya apabila tidak ditemukan tanda yang spesifik berkaitan dengan infeksi. Namun demikian toxoplasma akut harus dipertimbangkan pada setiap wanita hamil dengan limfa denopati, utamanya meliputi rahim posterior, dan atau gejala mononucleosisslike. Diagnosa utama infeksi toxoplasma selama kehamilan adalah meliputi salah satu dari hal berikut: • Menunjukan hasil yang positif pada uji yang dilakukan • Terjadi peningkatan antibody yang diperoleh dari serum ibu pada dua kali pemeriksaan yang berbeda, atau • Terdeteksi antibody IgM toxoplasma Pada usia remaja dengan infeksi primer jarang terjadi perkembangan antibody IgG dan IgM. Antibody IgG spesifik toxoplasma berkembang dalam waktu 2 minggu setelah terinfeksi dan berlangsung selamanya. Perkembangan antibody IgM spesifi toxsoplasm terjadi dalam 10 hari setelah terinfeksi dan meningkat 6 bulan sampai > 7 tahun.
The enzyme linked immunosorbent assay (Uji Elisa) asay test untuk melihat tingginya perkembangan antibody IgM dapat bertahan sampai beberapa tahun. UJI IVA (Indairec immaunofluorescence Antibody Test untuk IgM toxoplasma spesifik biasanya menunjukan kadar yang tinggi pada 6 bulan setelah terinfeksi, berikutnya titer akan menurun. Uji IVA lebih bermanfaat dari uji Elisa dalam membedakan infeksi adanya primer pada wanita hamil.
2) Anak
Gejala klinis pada bayi baru lahir akan dapat ditemukan seperti pada temuan diatas. Gejala klinik yang paling banyak ditemukan adalah chorioretinitis, penyakit kuning, demam, dan hepatosplenomegali. Adanya IgM toxoplasma spesifik pada bayi baru lahir memperjelas diagnosa infeksi congenital. Adanya kista toxoplasma gondii pada pemerikaan histology plasenta juga mendukung kuat diagnosa infeksi pada bayi.
3) Diagnosa prenatal
Mendiagnosa toxoplasma pada kehamilan dipercaya dengan cairan amnion atau darah janin yang dapat didiagnosa dengan amniosentesis atau cordosentesis.
IgM spesifik toxoplasma jika didapatkan pada darah janin dari cordosentesis dapat pula digunakan untuk mendiagnosa infeksi janin namun sayangnya antibody IgM janin sedikit berekembang sampai umur kehamilan 21 sampai 24 minggu.
d. Penatalaksanaan dan pencegahan
1) Ibu
Prognosa pada infeksi yang akut baik, kecuali pada keadaan imonosekresi yang amat besar. Wanta hamil dengan infeksi akut dapat dirawat dengan kombinasi pyrimethamine, asam folimik dan sulfonamide. Dosis standar pyrimethamine adalah 25 mg/hari/oral dan 1 gr sulfadiazine peroral 4 X/hari selam 1 tahun. Pyrimethamine adalah musuh dari asam folik dan oleh karena itu mungkinmemberikan efek teratogenik jika diberikan pada trimester I. Asam folimik diberikan dengan dosis 6 mg secara IM atau per oral setiap pada hari yang berbeda untuk mengetahui apakah benar habisnya asam folat disebsbkan oleh Pyrimethamine.
Spiramycin adalah ejen lainyang digunakan pada pengobatan toxoplasma akut dan dapat diperoleh pada pusat pengontrolan penyakit di USA, ini biasa digunakan di Eropa dan karenanya tidak ada pengawasan yang baik terhadap kemanjuran obat ini
2) Janin
Adanya gejala infeksi pada bayi lahir harus ditangani dengan pemberian pyrimethamine dengan dosis 1 mg/kg/hr/oral selam 34 hari, dilanjutkan dosis 0,5 mg/kg/hr selam 21-30 hari dan sulfadiazine dengan dosis 20 mg/kg per oral selam 1 tahun. Pada saat menginjak remaja diberikan asam folimik 2-6 mg secara IM atau oral 3 X seminggu walaupun pada saat bayi dia mendapatkan pyrimethamine. Infeksi congenital pada bayi baru lahir bukan merupakan infeksius, oleh karena itu tidak perlu diisolasi. Bayi baru lahir yang tiak menunjukan infeksi dan positif antibody IgG toxoplasma spesifiknya mungkin didapatkan dari ibunya secara transplasetal. Pada bayi yang Tidak ditemukannya temuan yang lain yang mencurigakan terjadinya infeksi congenital., harus dipantau, apabila tidak terinfeksi harus menunjukan adanya penurunan titer antibody IgG terhadap toxoplasma.
2. RUBELLA
Rubella dapat meningkatkan angka kematian perinatal dan sering menyebabkan cacat bawaan pada janin. Sering dijumpai apabila infeksi dijumpai pada kehamilan trimester I (30-50%). Anggota tubuh anak yang bisa menderita karena rubella:
a. Mata (katarak, glaucoma, mikroftalmia)
b. Jantung (Duktus arteriosus persisten, stenosis pulmonalis, septum terbuka)
c. Alat pendengaran (tuli)
d. Susunan syaraf pusat (meningoensefalitis, kebodohan)
Dapat pula terjadi hambatan pertumbuhan intra uterin, kelainan hematologik (termasuk trombositopenia dan anemia), hepatosplenomegalia dan ikterus, pneumonitis interstisialis kronika difusa, dan kelainan kromosom. Selain itu bayi dengan rubella bawaan selama beberapa bulan merupakan sumber ibfeksi bagi anak-anak dan orang dewasa lain.
Diagnosis
Diagnosis rubella tidak selalu mudah karena gejala-gejala kliniknya hampir sama dengan penyakit lain, kadang tidak jelas atau tidak ada sama sekali. Virus pada rubella sering mencapai dan merusak embrio dan fetus. Diagnosis pasti dapat dibuat dengan isolasi virus atau dengan dotemukannya kenaikan titer anti rubella dalam serum.
Nilai titer antibody
• Imunitas 1:10 atau lebih
• Imunitas rendah < 1:10 • Indikasi adanya infeksi saat ini 1:64 Apabila wanita hamil dalam trimester I menderita viremia, maka abortus buatan perlu dipertimbangkan. Setelah trimester I, kemungkinan cacat bawaan menjadi kurang yaitu 6,8% dalam trimester II dan 5,3% dalam trimester III. Tanda dan Gejala klinis: • Demam-ringan • Merasa mengantuk • Sakit tenggorok • Kemerahan sampai merah terang atau pucat, menyebar secara cepat dari wajah ke seluruh tubuh, kemudian menghilang secara cepat • Kelenjar leher membengkak • Durasi 3-5 hari Hingga kini tidak ada obat-obatna yang dapat mencegah viremia pada orang yang tidak kebal.. manfaat gamaglobulin dap\lam hal ini masih diragukan, yang lebih manjur ialah vaksin rubella. Akan tetapi, vaksinasi ini sering menimbulkan artralgia atau arthritis, dan pula vaksinasi yang dilakukan tidak lama sebelum terjadinya kehamilan atau dalam kehamilan dapat menyebabkan infeksi janin. Karena itu, lebih baik vaksinasi diberikan sebelum perkawinan. Pemberian vaksin pada wanita selam kunjungan prekonsepsi dianjurkan untuk uji serologi varicella apabila klien selama masa kanak-kanaknya tidak mempunyai riwayat infeksi, kontraindikasi pada kehamilan adalah menghindari konsepsi selama 3 bulan setelah vaksinasi. 3. CMV (CITOMEGALO VIRUS) Infeksi primer CMV dapat terjadi dengan frekuensi 1-2%. Infeksi congenital kekerapannya adalah 1-2% dari kehamilan. Walaupun jarang, 10-15% anak yang mwngalami infeksi congenital akan mengalami cacat bawaan. Bila infeksi terjadi pada trimester I atau awal trimester kedua dapat timbul keadaan hydrocephalus, mikrocephalus, mikroftalmia, hernia, gangguan pendengaran, retardasi mental dan mungkin ditemukan kalsifikasi serebral. Bila infeksi terjadi pada bulan-bulan terakhir kehamilan dapat dijumpai hepatosplenomegali, trombositopeni, purpura, korioretinitis, dan pneumonitis. Selain melalui plasenta, infeksi dapat sampai ke BBL melalui kontak virus dari serrvik, ASI, faring, dan urin ibu yang melahirkannya. Transfusi darah juga dapat menularkan infeksi CMV. Infeksi yang terjadi setelah lahir ini akan menampilkan gejala pneumonia, hepatosplenomegali dan sepsis yang tarjadi pada bulan pertama kehidupannya. Diagnosis pada ibu ditegaskan melalui pemeriksaan serologik (biasanya dengan cara ELISA), karena klinis tidak menunjukkan gejala yang khas. Virus biasanya dapat diisolasi dalam pembiakan jaringan. Hingga kini tidak dikenal pengobatan yang manjur bagi penyakit ini bagi ibu maupun neonatus. Kesulitan lain ialah bahwa infeksi CMV pada ibu biasanya tidak menimbulkan gejala dan sering tidak diketahui. Bila diketahui terdapat gejala infeksi, maka dapat diberi pengobatan simptomatik dan istirahat. Ibu dengan status imunitas yang rendah dan infeksi yang berat perlu diberi obat antivirus. 4. HERPES Infeksi herpes virus hominis pada orang dewasa biasanya ringan. Walaupun demikian, penyakit ini dapat menyebabkan kematian janin dan bayi. Pada bayi dapat dijumpai gelembung-gelembung pada kulit di seluruh badan, atau pada konjungtiva dan selaput lendir mulut. Kematian bayi dapat pula disebabkan oleh ensefalitis herpes virus. Virus tipe II dapat menyebabkan herpes genitalis dengan gelembung-gelembung berisi cairan di vulva, vagina, dan servik, yang dikenal juga dengan nama herpes simpleks. Penularan kepada anak dapat terjadi melalui: a. Hematigen melalui plasenta b. Akibat penjalaran ke atas dari vagina ke janin apabila ketuban pecah c. Melalui kontak langsung pada waktu bayi lahir Diagnosis tidak sulit yaitu apabila terdapat gelambung-gelambung di daerah alat kelamin, ditemukannya benda-benda inklusi intranuklear yang khas di dalam sel-sel epitel vulva, vagina atau servik setelah dipulas menurut papanicolau, memberi kepastian dalam diagnosis. Herpes genitalis merupakan infeksi virus yang senantiasa bersifat kronik, recurrent, dan dapat dikatakan sulit diobati. Sampai saat ini hanya satu cara pengobatan herpese yang cukup efektif, yaitu antivirus yang disebut acyclovir. Obat-obat analgetik dipakai untuk mengurangi rasa nyeri di daerah vulva. Acyclovir dalam kehamilan tidak dianjurkan, kecuali bila infeksi yang terjadi merupakan keadaan yang mengancam kematian ibu, seperti adanya ensefalitis, pneumonitis, dan atau hepatitis, dimana acyclovir dapat diberikan secara IV. SC dianjurkan pada wanita yang pada saat kelahiran menunjukkan gejala-gejala akut pada genetalia, untuk menghindari penularan akibat kontak langsung. Karena bila dengan persalinan pervaginam 50% bayi akan mengalami infeksi. Pada pasca persalinan, ibu yang menderita herpes aktif harus diisolasi. Bayinya dapat diberikan untuk menyusui bila ibu telah cuci tangan mengganti baju yang bersih. 5. SYPHILIS Infeksi syphilis (lues) yang disebabkan oleh Treponema pallidum, baik yang sudah lama maupun yang baru diderita oleh ibu dapat ditularkan kepada janin. Syphilis kongenita merupakan bentuk penyakit syphilis yang terberat. Infeksi pada janin dapat terjadi setiap saat dalam kehamilan, dengan derajat risiko infeksi yang tergantung jumlah spiroketa (treponema) di dalam darah ibu. Sudah diketahui secara umum bahwa syphilis mempunyai pengaruh buruk pada janin: dapat menyebabkan kematian janin, partus immaturus, dan partus prematurus. Dalam hal demikian dapat dijumpai gejala-gejala syphilis kongenita, diantaranya pemfigus syfilitikus, deskwamasi pada telapak kaki dan tangan, serta rhagade di kanan-kiri mulut. Pada persalinan tampak janin atau plasenta yang hidropik. Syphilis harus diobati segera setelah diagnosis dibuat, tanpa memandang tuanya kehamilan. Lebih dini dalam kehamilan pengobatan diberikan, lebih baik prognosis bagi janin. Syphilis primer yang tidak diobati dengan adekuat, 25% akan menjadi syphilis sekunder dalam waktu 4 tahun. Sebelum zaman antibiotika, syphilis diobati dengan neoarsphenamine (Salvarsan) dan bismuth. Sekarang pengobatan syphilis dalam kehamilan dilakukan dengan penicillin, dan apabila penderita tidak tahan (alergi) penicillin, dapat diberikan secara desensitiasi. Eritromisin tidak dianjurkan karena besar kemungkinan akan gagal untuk mengobati infeksi pada janin. Untuk syphilis primer, sekunder, dan laten dini (kurang dari 1 tahun) dianjurkan mendapat Benzathine penicillin G dengan dosis 2,4 juta satuan IM sekali suntik (separuh di kanan dan separuh di kiri). Untuk syphilis lama (late syphilis) diperlukan dosis yang lebih tinggi: 7,2 juta satuan (total) dibagi dalam 3 dosis masing-masing 2,4 juta satuam IM perminggu dalam 3 minggu. Dosis tunggal penicilline di atas umumnya sudah cukup untuk melindungi janin dari SSpenderitaan syphilis. Abortus atau kematian janin selama atau tidak lama setelah pengobatan biasanya tidak disebabkan karena gagalnya pengobatan, tetapi karena pengobatan terlambat diberikan. Suami juga harus diperiksa darahnya dan bila perlu diobati. Bila ragu, darah tali pusat juga diperiksa. Follow up bulanan melalui pemeriksaan serologik perlu dilakukan sehingga bila perlu pengobatan ulang dapat segera diberikan. Untuk lues kongenita pada neonatus dianjurkan pengobatan sebagai nerikut: 100.000-150.000 satuan/kg BB aquaeous crystalline penicilline G perhari (diberikan 50.000 satuan/kg BB secara IV setiap 8-12 jam) atau 50.000 satuan/kg BB Procain penicillin perhari diberikan 1x IM selama 10-14 hari. Bayi yang lahir dari ibu dengan syphilis boleh tetap mendapat ASI. Bila ibu tersebut masih menderita lesi pada kulit, kontak dengan bayinya harus dihindari. 6. VARICELLA (CACAR AIR/CHICKEN POX) Varicella merupakan penyakit anak-anak dan sangat jarang dijumpai dalam kehamilan dan nifas. Walaupun umumnya cacar air itu suatu penyakit ringan, namun pada wanita hamil kadang-kadang bisa menjadi berat dan dapat menyebabkan partus prematurus. Disangka bahwa telah terjadi penularan intra uterin apabila gelambung-gelambung timbul dalam 10 hari setelah kelahiran. Frekuensi cacar bawaan tidak lebih tinggi pada para bayi yang lahir dari ibu yang menderita cacar air dalam masa hamil.
1. Isoniazid (INH) 300 mg/hari. Obat ini mungkin menimbulkan komplikasi pada hati sehingga timbul gejala-gejala hepatitis berupa nafsu makan berkurang, mual dan muntah. Oleh karena itu –perlu diperiksa faal hati sewaktu-waktu dan bila ada perubahan untuk sementara obat harus segera dihentikan.
2. Etambutol 15-20 mg/kg/hari. Obat ini dapat menimbulkan komplikasi retrobulber neuritis, akan tetapi efek samping dalam kehamilan sangat sedikit dan pada janin belum ada.
3. Streptomycin 1gr/hari. Obat ini harus hati-hati digunakan dalam kehamilan, jangan digunakan dalam kehamilan trimester I. Pengaruh obat ini pada janin dapat menyebabkan tuli bawaan (ototoksik). Disamping itu obat ini juga kurang menyenangkan pada penderita karena harus disuntikan setiap hari.
4. Rifampisin 600mg/hari. Obat ini baik sekali untuk pengobatan TBC Paru tetapi memberikan efek teratogenik pada binatang poercobaan sehingga sebaiknya tidak diberikan pada trimester I kehamilan.
Pemeriksaan sputum harus dilakukan setelah 1-2 bulan pengobatan, jika masih positif perlu diulang tes kepekaan kuman terhadap obat, bila pasien sudah sembuh lakukan persalinan secar biasa. Pasien TBC aktif harus ditempatkan dalam kamar bersalin terpisah, persalinan dibantu Ekstraksi Vacum atau Forcep. Usahakan pasien tidak meneran, berikan masker untuk menutupi mulut dan hidung agar kuman tidak menyebar. Setelah persalinan pasien dirawat di ruang observasi 6-8 jam, kemudian dapat dipulangkan langsung. Pasien diberi obat uterotonika dan obat TBC tetap harus diteruskan. Penderita yang tidak mungkin pulang harus dirawat di ruang isolasi, karena bayi cukup rentan terhadap penyakit ini, sebagian besar ahli menganjurkan pemisahan dari ibu jika ibu dicurigai menderita TBC aktif, sampai ibunya tidak memperlihatkan tanda-tanda proses aktif lagi setelah dibuktikan dengan pemeriksaan sputum sebanyak 3 kali yang selalu memperlihatkan hasil negatif.
Pasien TBC yang menyusui harus mendapat regimen pengobatan yang penuh. Semua obat anti TBC sesuai untuk laktasi sehingga pemberian laktasi dapat dengan aman dan normal. namun bayi harus diberi suntikan mantoux, mendapat profilaksis INH dan imunisasi BCG.
2. Jantung
Etiologi
Sebagian besar disebabkan demam reumatik. Bentuk kelainan katup yang sering dijumpai adalah stenosis mitral, insufisiensi mitral, gabungan stenosis mitral dengan insufisiensi mitral, stenosis aorta, insufisiensi aorta, gabungan antara insufisiensi aorta dan stenosis aorta, penyakit katupulmonal dan trikuspidal.
Faktor Predisposisi
Peningkatan usia pasien dengan penyakit jantung hipertensi dan superimposed preeklamsi atau eklamsi, aritmia jantung atau hipertrofi ventrikel kiri, riwayat decompensasi cordis, anemia.
Patofisiologi
Keperluan janin yang sedang bertumbuh akan oksigen dan zat-zat makanan bertambah dalam berlangsungnya kehamilan, yang harus dipenuhi melalui darah ibu. Untuk itu banyaknya darah yang beredar bertambah, sehingga jantung harus bekerja lebih berat. Karena itu dalam kehamilan selalu terjadi perubahan dalam system kardiovaskuler yang baisanya masih dalam batas-batas fisiologik. Perubahan-perubahan itu terutama disebabkan karena :
1. Hidrenia (Hipervolemia), dimulai sejak umur kehamilan 10 minggu dan puncaknya pada UK 32-36 minggu
2. Uterus gravidus yang makin lama makin besar mendorong diafragma ke atas, ke kiri, dan ke depan sehingga pembuluh-pembuluh darah besar dekat jantung mengalami lekukan dan putaran.
Volume plasma bertambah juga sebesar 22 %. Besar dan saat terjadinya peningkatan volume plasma berbeda dengan peningkatan volume sel darah merah ; hal ini mengakibatkan terjadinya anemia delusional (pencairan darah).
12-24 jam pasca persalinan terjadi peningkatan volume plasma akibat imbibisi cairan dari ekstra vascular ke dalam pembuluah darah, kemudian di ikuti periode deuresis pasca persalinan yang mengakibatkan hemokonsentrasi (penurunan volume plasa). 2 minggu pasca persalinan merupakan penyesuaian nilai volume plasma seperti sebelum hamil.
Jantung yang normal dapat menyesuaikan diri, tetapi jantung yang sakit tidak. Oleh karena itu dalam kehamilan frekuensi denyut jantung meningkat dan nadi rata-rata 88x/menit dalam kehamilan 34-36 minggu. Dalam kehamilan lanjut prekordium mengalami pergeseran ke kiri dan sering terdengar bising sistolik di daerah apeks dan katup pulmonal. Penyakit jantung akan menjadi lebih berat pada pasien yang hamil dan melahirkan, bahkan dapat terjadi decompensasi cordis.
Manifestasi Klinis
Mudah lelah, nafas terengah-engah, ortopnea, dan kongesti paru adalah tanda dan gejala gagal jantung kiri. Peningkatan berat badan, edema tungkai bawah, hepato megali, dan peningkatan tekanan vena jugularis adalah tanda dan gejala gagal jantung kanan. Namun gejala dan tanda ini dapat pula terjadi pada wanita hamil normal. Biasanya terdapat riwayat penyakit jantung dari anamnesis atau dalam rekam medis.
Perlu diawasi saat-saat berbahaya bagi penderita penyakit jantung yang hamil yaitu :
1. Antara minggu ke 12 dan 32. Terjadi perubahan hemodinamik, terutama minggu ke 28 dan 32, saat puncak perubahan dan kebutuhan jantung maksimum
2. Saat persalinan. Setiap kontraksi uterus meningkatkan jumlah darah ke dalam sirkulasi sistemik sebesar 15 - 20% dan ketika meneran pada partus kala ii, saat arus balik vena dihambat kembali ke jantung.
3. Setelah melahirkan bayi dan plasenta. Hilangnya pengaruh obstruksi uterus yang hamil menyebabkan masuknya darah secara tiba-tiba dari ekstremitas bawah dan sirkulasi uteroplasenta ke sirkulasi sistemik.
4. 4-5 hari seetelah peralinan. Terjadi penurunan resistensi perifer dan emboli pulmonal dari thrombus iliofemoral.
Gagal jantung biasanya terjadi perlahan-lahan, diawali ronkhi yang menetap di dasar paru dan tidak hilang seteah menarik nafas dalam 2-3 kali.
Gejala dan tanda yang biasa ditemui adalah dispnea dan ortopnea yang berat atau progresif, paroxysmal nocturnal dyspnea, sinkop pada kerja, nyeri dada, batuk kronis, hemoptisis, jari tabuh, sianosis, edema persisten pada ekstremitas, peningkatan vena jugularis, bunyi jantung I yang keras atau sulit didengar, split bunyi jantung II, ejection click, late systolic click, opening snap, friction rub, bising sistolik derajat III atau IV, bising diastolic, dan cardio megali dengan heaving ventrikel kiri atau kanan yang difus.
Pemeriksaan Penunjang
Selain pemeriksaan laboratorium rutin juga dilakukan pemeriksaan :
1. EKG untuk mengetahui kelainan irama dan gangguan konduksi, kardiomegali, tanda penyakit pericardium, iskemia, infark. Bisa ditemukan tanda-tanda aritmia.
2. Ekokardigrafi. Meteode yang aman, cepat dan terpercaya untuk mengetahu kelainan fungsi dan anatomi dari bilik, katup, dan peri kardium
3. Pemeriksaan Radiologi dihindari dalam kehamilan, namun jika memang diperlukan dapat dilakukan dengan memberi perlindung diabdomen dan pelvis.
Diagnosis
Burwell dan Metcalfe mengajukan 4 kriteria. Diagnosis ditegakkan bila ada satu dari kriteria :
1. Bising diastolic, presistolik, atau bising jantung terus menerus
2. Pembesaran jantung yang jelas
3. Bising sistolik yang nyaring, terutama bila disertai thrill
4. Arimia berat
Pada wanita hamil yang tidak menunjukan salah satu gejala tersebut jarang menderita penyakit jantung. Bila terdapat gejala decompensasi jantung pasien harus di golongkan satu kelas lebih tinggi dan segera dirawat
Klasifikasi penyakit jantung dalam kehamilan
Kelas I
• Tanpa pembatasan kegiatan fisik
• Tanpa gejala penyakit jantung pada kegiatan biasa
Kelas II
• Sedikit pembatasan kegiatan fisik
• Saat istirahat tidak ada keluhan
• Pada kegiatan fisik biasa timbul gejala isufisiensi jantung seperti: kelelahan, jantung berdebar (palpitasi cordis), sesak nafas atau angina pectoris
Kelas III
• Banyak pembatasan dalam kegiatan fisik
• Saat istirahat tidak ada keluhan
• Pada aktifitas fisik ringan sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung
Kelas IV
• Tidak mampu melakukan aktivitas fisik apapun
Komplikasi
Pada ibu dapat terjadi : gagal jantung kongestif, edema paru, kematian, abortus.
Pada janin dapat terjadi : prematuritas, BBLR, hipoksia, gawat janin, APGAR score rendah, pertumbuhan janin terhambat.
Penatalaksanaan
Sebaiknya dilakukan dalam kerjasama dengan ahli penyakit dalam atau ahli jantung. Secara garis besar penatalksanaan mencakup mengurangi beban kerja jantung dengan tirah baring, menurunkan preload dengan deuretik, meningkatkan kontraktilitas jantung dengan digitalis, dan menurunkan after load dengan vasodilator.
Penatalaksanaan dilakukan berdasarkan klasifikasinya yaitu :
Kelas I
Tidak memerlukan pengobatan tambahan
Kelas II
Umumnya tidak memerlukan pengobatan tambahan, hanya harus menghindari aktifitas yang berlebihan, terutama pada UK 28-32 minggu. Pasien dirawat bila keadaan memburuk.
Kedua kelas ini dapat meneruskan kehamilan sampai cukup bulan dan melahirkan pervaginam, namun harus diawasi dengan ketat. Pasien harus tidur malam cukup 8-10 jam, istirahat baring minimal setengah jam setelah makan, membatasi masuknya cairan (75 mll/jam) diet tinggi protein, rendah garam dan membatasi kegiatan. Lakukan ANC dua minggu sekali dan seminggu sekali setelah 36 minggu. Rawat pasien di RS sejak 1 minggun sebelum waktu kelahiran. Lakukan persalinan pervaginam kecuali terdapat kontra indikasi obstetric. Metode anastesi terpilih adalah epidural
Kala persalinan biasanya tidak berbahaya. Lakukan pengawasan dengan ketat. Pengawasan kala I setiap 10-15 menit dan kala II setiap 10 menit. Bila terjadi takikardi, takipnea, sesak nafas (ancaman gagal jantung), berikan digitalis berupa suntikan sedilanid IV dengan dosis awal 0,8 mg, dapat diulang 1-2 kali dengan selang 1-2 jam. Selain itu dapat diberi oksigen, morfin (10-15 mg), dan diuretic.
Pada kala II dapat spontan bila tidak ada gagal jantung. Bila berlangsung 20 menit dan ibu tidak dapat dilarang meneran akhiri dengan ekstraksi cunam atau vacum dengan segera
Tidak diperbolehkan memaki ergometrin karena kontraksi uterus yang bersifat tonik akan menyebabkan pengembalian darah ke sirkulasi sistemik dala jumlah besar.
Rawat pasien sampai hari ke 14, mobilisasi bertahap dan pencegahan infeksi, bila fisik memungkinkan pasien dapat menusui.
Kelas III
Dirawat di RS selam hamil terutama pada UK 28 minggu dapat diberikan diuretic
Kelas IV
Harus dirawat di RS
Kedua kelas ini tidak boleh hamil karena resiko terlalu berat. Pertimbangkan abortus terapeutik pada kehamilan kurang dari 12 minggu. Jika kehamilan dipertahankan pasien harus terus berbaring selama hamil dan nifas. Bila terjadi gagal jantung mutlak harus dirawat dan berbaring terus sampai anak lahir. Dengan tirah baring, digitalis, dan diuretic biasanya gejala gagal jantung akan cepat hilang.
Pemberian oksitosin cukup aman. Umumnya persalinan pervaginam lebih aman namun kala II harus diakhiri dengan cunam atau vacuum. Setelah kala III selesai, awasi dengan ketat, untuk menilai terjadinya decompensasi atau edema paru. Laktasi dilarang bagi pasien kelas III dan IV.
Operasi pada jantungn untuk memperbaiki fungsi sebaiknya dilakukan sebelum hamil. Pada wanita hamil saat yang paling baik adalah trimester II namun berbahaya bagi bayinya karena setelah operasi harus diberikan obat anti pembekuan terus menerus dan akan menyebabkan bahaya perdarahan pada persalinannya. Obat terpilih adalah heparin secara SC, hati-hati memberikan obat tokolitik pada pasien dengan penyakit jantung karena dapat menyebabkan edema paru atau iskemia miocard terutama pada kasus stenosis aorta atau mitral.
Prognosis
Prognosis tergantung klasifikasi, usia, penyulit lain yang tidak berasal dari jantung, penatalaksanaan, dan kepatuhan pasien. Kelainan yang paling sering menyebabkan kematian adalah edema paru akut pada stenosis mitral. Prognosis hasil konsepsi lebih buruk akibat dismaturitas dan gawat janin waktu persalinan.
3. Diabetes Melitus
Diabetes mellitus pada kehamilan adalah intoleransi karbohidrat ringan (toleransi glukosa terganggu) maupun berat (DM), terjadi atau diketahui pertama kali saat kehamilan berlangsung. Definisi ini mencakup pasien yang sudah mengidap DM (tetapi belum terdeteksi) yang baru diketahui saat kehamilan ini dan yang benar-benar menderita DM akibat hamil
Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan karbohidrat yang meninjang pemasokan makanan bagi janin serta persiapan untuk menyusui. Glukosa dapat berdifusi secara tetap melalui plasenta kepada janin sehingga kadarnya dalam darah janin hampir menyerupai kadar darah ibu. Insulin ibu tidak dapat mencapai janin sehingga kadar gula ibu yang mempengaruhi kadar pada janin. Pengendalian kadar gula terutama dipengaruhi oleh insulin, disamping beberapa hormon lain : estrogen, steroid dan plasenta laktogen. Akibat lambatbya resopsi makanan maka terjadi hiperglikemi yang relatif lama dan ini menuntut kebutuhan insulin.
Diagnosis
Deteksi dini sangat diperlukan agar penderita DM dapat dikelola sebaik-baiknya. Terutama dilakukan pada ibu dengan factor resiko berupa beberapa kali keguguran, riwayat pernah melahirkan anak mati tanpa sebab, riwayat melahirkan bayi dengan cacat bawaan, melahirkan bayi lebih dari 4000 gr, riwayat PE dan polyhidramnion.
Juga terdapat riwayat ibu : umur ibu > 30 tahun, riwayat DM dalam keluarga, riwayat DM pada kehamilan sebelumnya, obesitas, riwayat BBL > 4500 gr dan infeksi saluran kemih berulang selama hamil.
Klasifikasi
a. Tidak tergantung insulin (TTI) – Non Insulin Dependent diabetes mellitus (NIDDN) yaitu kasus yang tidak memerlukan insulin dalam pengendalian kadar gula darah.
b. Tergantung insulin (TI) – Insulin dependent Diabetes Melitus yaitu kasus yan memerlukan insulin dalam mengembalikan kadar gula darah.
Komplikasi
Maternal : infeksi saluran kemih, hydramnion, hipertensi kronik, PE, kematian ibu
Fetal : abortus spontan, kelainan congenital, insufisiensi plasenta, makrosomia, kematian intra uterin,
Neonatal : prematuritas, kematian intra uterin, kematian neonatal, trauma lahir, hipoglikemia, hipomegnesemia, hipokalsemia, hiperbilirubinemia, syndroma gawat nafas, polisitemia.
Penatalaksanaan
Prinsipnya adalah mencapai sasaran normoglikemia, yaitu kadar glukosa darah puasa < 105 mg/dl, 2 jam sesudah makan < 120 mg/dl, dan kadar HbA1c<6%. Selain itu juga menjaga agar tidak ada episode hipoglikemia, tidak ada ketonuria, dan pertumbuhan fetus normal. Pantau kadar glukosa darah minimal 2 kali seminggu dan kadar Hb glikosila. Ajarka pasien memantau gula darah sendiri di rumah dan anjurkan untuk kontrol 2-4 minggu sekali bahkan lebih sering lagi saat mendekati persalinan. Obat hipoglikemik oral tidak dapat dipakai saat hamil dan menyusui mengingat efek teratogenitas dan dikeluarkan melalui ASI, kenaikan BB pada trimester I diusahakan sebesar 1-2,5 kg dan selanjutnya 0,5 kg /minggu, total kenaikan BB sekitar 10-12 kg. Penatalaksanaan Obstetric Pantau ibu dan janin dengan mengukur TFU, mendengarkan DJJ, dan secara khusus memakai USG dan KTG. Lakukan penilaian setiap akhir minggu sejak usia kehamilan 36 minggu. Adanya makrosomia pertumbuhan janin terhambat dan gawat janin merupakan indikasi SC. Janin sehat dapat dilahirkan pada umur kehamilan cukup waktu (40-42 minggu) dengan persalinan biasa. Ibu hamil dengan DM tidak perlu dirawat bila keadaan diabetesnya terkendali baik, namun harus selalu diperhatikan gerak janin (normalnya >20 kali/12 jam). Bila diperlukan terminasi kehamilan, lakukan amniosentesis dahulu untuk memastikan kematangan janin (bila UK <38 minggu). Kehamilan dengan DM yang berkomplikasi harus dirawat sejak UK 34 minggu dan baisanya memerlukan insulin. 4. Asma Asma Bronkiale merupakan salah satu penyakit saluran nafas yang sering dijumpai dalam kehamilan dan persalinan. Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya asma tidak sama pada setiap penderita, bahkan pada seorang penderita asma, serangannya tak sama pada kehamilan pertama dan berikutnya. Biasanya serangan akan timbul mulai UK 24-36 minggu dan pada akhir kehamilan jarang terjadi serangan. Komplikasi Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat tergantung dari sering dan beratnya serangan, karena ibu dan janin akan kekurangan oksigen atau hipoksia. Keadaan hipoksia bila tidak segera diatasi tentu akan berpengaruh pada janin dan sering terjadi keguguran, partus premature dan gangguan petumbuhan janin. Manifestasi Klinis Factor pencetus timbulnya asma antara lain zat-zat alergi, infeksi saluran nafas, pengaruh udara dan factor psikis. Penderita selama kehamilan perlu mendapat pengawasan yang baik, biasanya penderita mengeluh nafas pendek, berbunyi, sesak, dan batuk-batuk. Diagnosis dapat ditegakkan seperti asma diluar kehamilan. Penatalaksanaan 1. mencegah timbulnya stress 2. Menghindari factor resiko/pencetus yang sudah diketahui secara intensif 3. Mencegah penggunaan obat seperti aspirin dan semacamnya yang dapat menjadi pencetus timbulnya serangan 4. Pada asma yang ringan dapat digunakan obat-obat local yang berbentuk inhalasi, atau peroral seperti isoproterenol 5. Pada keadaan lebih berat penderita harus dirawat dan serangan dapat dihilangkan dengan 1atau lebih dari obat dibawah ini a. Epinefrin yang telah dilarutkan (1:1000), 0,2-0,5 ml disuntikan SC b. Isoproterenol (1:100) berupa inhalasi 3-7 hari c. Oksigen d. Aminopilin 250-500 mg (6mg/kg) dalam infus glukosa 5 % e. Hidrokortison 260-1000 mg IV pelan-pelan atau per infus dalam D10% Hindari penggunaan obat-obat yang mengandung iodium karena dapat membuat gangguan pada janin, dan berikan antibiotika kalau ada sangkaan terdapat infeksi. Upayakan persalinan secara spontan namun bila pasien berada dalam serangan, lakukan VE atau Forcep. SC atas indikasi asma jarang atau tak pernah dilakukan. Jangan berikan analgesik yang mengandung histamin tapi pilihlah morfin atau analgesik epidural. Dokter sebaiknya memilih obat yang tidak mempengaruhi ASI. Aminopilin dapat terkandung dalam ASI sehingga bayi mengalami gangguan pencernaan, gelisah, dan ganggguan tidir. Namun obat anti asma lainnya dan kortikosteroid umumnya tidak berbahaya karena kadarnya dalam ASI sangat kecil. B. Infeksi yang Menyertai Kehamilan dan Persalinan (TORCH) 1. TOXOPLASMOSIS a. Temuan klinis Toxoplasmosis adalah penyakit infeksi yang disebsbkan oleh toxoplasma gondii. Ibu dengan toxoplasma gondii biasanya tidak menampakan gejala walaupun 10%-20% ibu yang terinfeksi didapatkan adanya iymphadenopathy. Infeksi dapat ditemukan pada sindrom mononucleosislike dengan adanya kelelahan dan lesu, jarang terjadi pada encephalitis. BBL dengan menderita toxoplasma congenital terinfeksi saat berada di dalam uterus secara transplacental. Choriuretinitis merupakan manifestasi klinis yang serinng muncul apada BBL sebagai gejala toxoplasma. Berikut adalah temuan-temuan yang didapatkan pada bayi dengan infeksi toxoplasma congenital: chorioretinitis, hydrocephalus, penyakit kuning, hepatosplenomegali, mikrosefali, glaucoma, kejang, demam, hipotermi, limpadenopati, mual, diare, katarak, mikroftalmia, syaraf mata atrofi, pneumonia. b. Penularan 1) Kucing Organisme tempat toxoplasma gondii hidup adalah kucing. Sekitar ½ dari beberapa kucing yang diuji mempunyai antibody toxoplasma. Ini berarti bahwa kucing tersebut terinfeksi karena memakan hewan pengerat dan burung pemakan daging yang terinfeksi. Satu minggu setelah terinfeksi, kucing mengeluarkan oocyst yang terdapat pada fesesnya. Pengeluaran oocyst terus menerus sampai sekitar 2 minggu sebelum kucing itu sembuh atau pulih kembali. Hewan ini mudah terinfeksi lagi dan dapat mengeluarkan oocyst ketika terinfeksi oleh organisme lain. Feses kucing sudah sangat infeksius. Oocyst dalam feses menyebar melalui udara dan ketika dihirup akan dapat menyebabkan infeksi. Sporulasi organisme ini terjadi setelah 1-5 hari dalam kotoran dan dapat dicegah dengan pembuangan sampat setiap hari. Jika oocyst terkandung dalam tanah sisa-sisa partikel berada di atasnya dan akan terbawa arus air hujan. Sisa oocyst dapat bertahan hidup sampai lebih dari 1 tahun tetapi tidak aktif dalam keadaan beku, kekeringan, panas lebih dari 50 C atau terkontak dengan ammonia, biodin atau formalin. 2) Daging Wabah “christiaan barand” adalah contoh penularan toxoplasma melalui daging. Konsumsi daging yang terinfeksi adalah penyebab utama toxoplasma di Eropa, dimana dibatasinya penggunaan lemari pendingin dan biasanya daging tidak dibekukan. Seharusnya daging dimasak pada suhu yang tinggi untuk mecegah terjadinya penularan toxoplasma c. Diagnosis 1) Ibu Diagnosa klinis toxoplasma akut tidak dapat dipercaya apabila tidak ditemukan tanda yang spesifik berkaitan dengan infeksi. Namun demikian toxoplasma akut harus dipertimbangkan pada setiap wanita hamil dengan limfa denopati, utamanya meliputi rahim posterior, dan atau gejala mononucleosisslike. Diagnosa utama infeksi toxoplasma selama kehamilan adalah meliputi salah satu dari hal berikut: • Menunjukan hasil yang positif pada uji yang dilakukan • Terjadi peningkatan antibody yang diperoleh dari serum ibu pada dua kali pemeriksaan yang berbeda, atau • Terdeteksi antibody IgM toxoplasma Pada usia remaja dengan infeksi primer jarang terjadi perkembangan antibody IgG dan IgM. Antibody IgG spesifik toxoplasma berkembang dalam waktu 2 minggu setelah terinfeksi dan berlangsung selamanya. Perkembangan antibody IgM spesifi toxsoplasm terjadi dalam 10 hari setelah terinfeksi dan meningkat 6 bulan sampai > 7 tahun.
The enzyme linked immunosorbent assay (Uji Elisa) asay test untuk melihat tingginya perkembangan antibody IgM dapat bertahan sampai beberapa tahun. UJI IVA (Indairec immaunofluorescence Antibody Test untuk IgM toxoplasma spesifik biasanya menunjukan kadar yang tinggi pada 6 bulan setelah terinfeksi, berikutnya titer akan menurun. Uji IVA lebih bermanfaat dari uji Elisa dalam membedakan infeksi adanya primer pada wanita hamil.
2) Anak
Gejala klinis pada bayi baru lahir akan dapat ditemukan seperti pada temuan diatas. Gejala klinik yang paling banyak ditemukan adalah chorioretinitis, penyakit kuning, demam, dan hepatosplenomegali. Adanya IgM toxoplasma spesifik pada bayi baru lahir memperjelas diagnosa infeksi congenital. Adanya kista toxoplasma gondii pada pemerikaan histology plasenta juga mendukung kuat diagnosa infeksi pada bayi.
3) Diagnosa prenatal
Mendiagnosa toxoplasma pada kehamilan dipercaya dengan cairan amnion atau darah janin yang dapat didiagnosa dengan amniosentesis atau cordosentesis.
IgM spesifik toxoplasma jika didapatkan pada darah janin dari cordosentesis dapat pula digunakan untuk mendiagnosa infeksi janin namun sayangnya antibody IgM janin sedikit berekembang sampai umur kehamilan 21 sampai 24 minggu.
d. Penatalaksanaan dan pencegahan
1) Ibu
Prognosa pada infeksi yang akut baik, kecuali pada keadaan imonosekresi yang amat besar. Wanta hamil dengan infeksi akut dapat dirawat dengan kombinasi pyrimethamine, asam folimik dan sulfonamide. Dosis standar pyrimethamine adalah 25 mg/hari/oral dan 1 gr sulfadiazine peroral 4 X/hari selam 1 tahun. Pyrimethamine adalah musuh dari asam folik dan oleh karena itu mungkinmemberikan efek teratogenik jika diberikan pada trimester I. Asam folimik diberikan dengan dosis 6 mg secara IM atau per oral setiap pada hari yang berbeda untuk mengetahui apakah benar habisnya asam folat disebsbkan oleh Pyrimethamine.
Spiramycin adalah ejen lainyang digunakan pada pengobatan toxoplasma akut dan dapat diperoleh pada pusat pengontrolan penyakit di USA, ini biasa digunakan di Eropa dan karenanya tidak ada pengawasan yang baik terhadap kemanjuran obat ini
2) Janin
Adanya gejala infeksi pada bayi lahir harus ditangani dengan pemberian pyrimethamine dengan dosis 1 mg/kg/hr/oral selam 34 hari, dilanjutkan dosis 0,5 mg/kg/hr selam 21-30 hari dan sulfadiazine dengan dosis 20 mg/kg per oral selam 1 tahun. Pada saat menginjak remaja diberikan asam folimik 2-6 mg secara IM atau oral 3 X seminggu walaupun pada saat bayi dia mendapatkan pyrimethamine. Infeksi congenital pada bayi baru lahir bukan merupakan infeksius, oleh karena itu tidak perlu diisolasi. Bayi baru lahir yang tiak menunjukan infeksi dan positif antibody IgG toxoplasma spesifiknya mungkin didapatkan dari ibunya secara transplasetal. Pada bayi yang Tidak ditemukannya temuan yang lain yang mencurigakan terjadinya infeksi congenital., harus dipantau, apabila tidak terinfeksi harus menunjukan adanya penurunan titer antibody IgG terhadap toxoplasma.
2. RUBELLA
Rubella dapat meningkatkan angka kematian perinatal dan sering menyebabkan cacat bawaan pada janin. Sering dijumpai apabila infeksi dijumpai pada kehamilan trimester I (30-50%). Anggota tubuh anak yang bisa menderita karena rubella:
a. Mata (katarak, glaucoma, mikroftalmia)
b. Jantung (Duktus arteriosus persisten, stenosis pulmonalis, septum terbuka)
c. Alat pendengaran (tuli)
d. Susunan syaraf pusat (meningoensefalitis, kebodohan)
Dapat pula terjadi hambatan pertumbuhan intra uterin, kelainan hematologik (termasuk trombositopenia dan anemia), hepatosplenomegalia dan ikterus, pneumonitis interstisialis kronika difusa, dan kelainan kromosom. Selain itu bayi dengan rubella bawaan selama beberapa bulan merupakan sumber ibfeksi bagi anak-anak dan orang dewasa lain.
Diagnosis
Diagnosis rubella tidak selalu mudah karena gejala-gejala kliniknya hampir sama dengan penyakit lain, kadang tidak jelas atau tidak ada sama sekali. Virus pada rubella sering mencapai dan merusak embrio dan fetus. Diagnosis pasti dapat dibuat dengan isolasi virus atau dengan dotemukannya kenaikan titer anti rubella dalam serum.
Nilai titer antibody
• Imunitas 1:10 atau lebih
• Imunitas rendah < 1:10 • Indikasi adanya infeksi saat ini 1:64 Apabila wanita hamil dalam trimester I menderita viremia, maka abortus buatan perlu dipertimbangkan. Setelah trimester I, kemungkinan cacat bawaan menjadi kurang yaitu 6,8% dalam trimester II dan 5,3% dalam trimester III. Tanda dan Gejala klinis: • Demam-ringan • Merasa mengantuk • Sakit tenggorok • Kemerahan sampai merah terang atau pucat, menyebar secara cepat dari wajah ke seluruh tubuh, kemudian menghilang secara cepat • Kelenjar leher membengkak • Durasi 3-5 hari Hingga kini tidak ada obat-obatna yang dapat mencegah viremia pada orang yang tidak kebal.. manfaat gamaglobulin dap\lam hal ini masih diragukan, yang lebih manjur ialah vaksin rubella. Akan tetapi, vaksinasi ini sering menimbulkan artralgia atau arthritis, dan pula vaksinasi yang dilakukan tidak lama sebelum terjadinya kehamilan atau dalam kehamilan dapat menyebabkan infeksi janin. Karena itu, lebih baik vaksinasi diberikan sebelum perkawinan. Pemberian vaksin pada wanita selam kunjungan prekonsepsi dianjurkan untuk uji serologi varicella apabila klien selama masa kanak-kanaknya tidak mempunyai riwayat infeksi, kontraindikasi pada kehamilan adalah menghindari konsepsi selama 3 bulan setelah vaksinasi. 3. CMV (CITOMEGALO VIRUS) Infeksi primer CMV dapat terjadi dengan frekuensi 1-2%. Infeksi congenital kekerapannya adalah 1-2% dari kehamilan. Walaupun jarang, 10-15% anak yang mwngalami infeksi congenital akan mengalami cacat bawaan. Bila infeksi terjadi pada trimester I atau awal trimester kedua dapat timbul keadaan hydrocephalus, mikrocephalus, mikroftalmia, hernia, gangguan pendengaran, retardasi mental dan mungkin ditemukan kalsifikasi serebral. Bila infeksi terjadi pada bulan-bulan terakhir kehamilan dapat dijumpai hepatosplenomegali, trombositopeni, purpura, korioretinitis, dan pneumonitis. Selain melalui plasenta, infeksi dapat sampai ke BBL melalui kontak virus dari serrvik, ASI, faring, dan urin ibu yang melahirkannya. Transfusi darah juga dapat menularkan infeksi CMV. Infeksi yang terjadi setelah lahir ini akan menampilkan gejala pneumonia, hepatosplenomegali dan sepsis yang tarjadi pada bulan pertama kehidupannya. Diagnosis pada ibu ditegaskan melalui pemeriksaan serologik (biasanya dengan cara ELISA), karena klinis tidak menunjukkan gejala yang khas. Virus biasanya dapat diisolasi dalam pembiakan jaringan. Hingga kini tidak dikenal pengobatan yang manjur bagi penyakit ini bagi ibu maupun neonatus. Kesulitan lain ialah bahwa infeksi CMV pada ibu biasanya tidak menimbulkan gejala dan sering tidak diketahui. Bila diketahui terdapat gejala infeksi, maka dapat diberi pengobatan simptomatik dan istirahat. Ibu dengan status imunitas yang rendah dan infeksi yang berat perlu diberi obat antivirus. 4. HERPES Infeksi herpes virus hominis pada orang dewasa biasanya ringan. Walaupun demikian, penyakit ini dapat menyebabkan kematian janin dan bayi. Pada bayi dapat dijumpai gelembung-gelembung pada kulit di seluruh badan, atau pada konjungtiva dan selaput lendir mulut. Kematian bayi dapat pula disebabkan oleh ensefalitis herpes virus. Virus tipe II dapat menyebabkan herpes genitalis dengan gelembung-gelembung berisi cairan di vulva, vagina, dan servik, yang dikenal juga dengan nama herpes simpleks. Penularan kepada anak dapat terjadi melalui: a. Hematigen melalui plasenta b. Akibat penjalaran ke atas dari vagina ke janin apabila ketuban pecah c. Melalui kontak langsung pada waktu bayi lahir Diagnosis tidak sulit yaitu apabila terdapat gelambung-gelambung di daerah alat kelamin, ditemukannya benda-benda inklusi intranuklear yang khas di dalam sel-sel epitel vulva, vagina atau servik setelah dipulas menurut papanicolau, memberi kepastian dalam diagnosis. Herpes genitalis merupakan infeksi virus yang senantiasa bersifat kronik, recurrent, dan dapat dikatakan sulit diobati. Sampai saat ini hanya satu cara pengobatan herpese yang cukup efektif, yaitu antivirus yang disebut acyclovir. Obat-obat analgetik dipakai untuk mengurangi rasa nyeri di daerah vulva. Acyclovir dalam kehamilan tidak dianjurkan, kecuali bila infeksi yang terjadi merupakan keadaan yang mengancam kematian ibu, seperti adanya ensefalitis, pneumonitis, dan atau hepatitis, dimana acyclovir dapat diberikan secara IV. SC dianjurkan pada wanita yang pada saat kelahiran menunjukkan gejala-gejala akut pada genetalia, untuk menghindari penularan akibat kontak langsung. Karena bila dengan persalinan pervaginam 50% bayi akan mengalami infeksi. Pada pasca persalinan, ibu yang menderita herpes aktif harus diisolasi. Bayinya dapat diberikan untuk menyusui bila ibu telah cuci tangan mengganti baju yang bersih. 5. SYPHILIS Infeksi syphilis (lues) yang disebabkan oleh Treponema pallidum, baik yang sudah lama maupun yang baru diderita oleh ibu dapat ditularkan kepada janin. Syphilis kongenita merupakan bentuk penyakit syphilis yang terberat. Infeksi pada janin dapat terjadi setiap saat dalam kehamilan, dengan derajat risiko infeksi yang tergantung jumlah spiroketa (treponema) di dalam darah ibu. Sudah diketahui secara umum bahwa syphilis mempunyai pengaruh buruk pada janin: dapat menyebabkan kematian janin, partus immaturus, dan partus prematurus. Dalam hal demikian dapat dijumpai gejala-gejala syphilis kongenita, diantaranya pemfigus syfilitikus, deskwamasi pada telapak kaki dan tangan, serta rhagade di kanan-kiri mulut. Pada persalinan tampak janin atau plasenta yang hidropik. Syphilis harus diobati segera setelah diagnosis dibuat, tanpa memandang tuanya kehamilan. Lebih dini dalam kehamilan pengobatan diberikan, lebih baik prognosis bagi janin. Syphilis primer yang tidak diobati dengan adekuat, 25% akan menjadi syphilis sekunder dalam waktu 4 tahun. Sebelum zaman antibiotika, syphilis diobati dengan neoarsphenamine (Salvarsan) dan bismuth. Sekarang pengobatan syphilis dalam kehamilan dilakukan dengan penicillin, dan apabila penderita tidak tahan (alergi) penicillin, dapat diberikan secara desensitiasi. Eritromisin tidak dianjurkan karena besar kemungkinan akan gagal untuk mengobati infeksi pada janin. Untuk syphilis primer, sekunder, dan laten dini (kurang dari 1 tahun) dianjurkan mendapat Benzathine penicillin G dengan dosis 2,4 juta satuan IM sekali suntik (separuh di kanan dan separuh di kiri). Untuk syphilis lama (late syphilis) diperlukan dosis yang lebih tinggi: 7,2 juta satuan (total) dibagi dalam 3 dosis masing-masing 2,4 juta satuam IM perminggu dalam 3 minggu. Dosis tunggal penicilline di atas umumnya sudah cukup untuk melindungi janin dari SSpenderitaan syphilis. Abortus atau kematian janin selama atau tidak lama setelah pengobatan biasanya tidak disebabkan karena gagalnya pengobatan, tetapi karena pengobatan terlambat diberikan. Suami juga harus diperiksa darahnya dan bila perlu diobati. Bila ragu, darah tali pusat juga diperiksa. Follow up bulanan melalui pemeriksaan serologik perlu dilakukan sehingga bila perlu pengobatan ulang dapat segera diberikan. Untuk lues kongenita pada neonatus dianjurkan pengobatan sebagai nerikut: 100.000-150.000 satuan/kg BB aquaeous crystalline penicilline G perhari (diberikan 50.000 satuan/kg BB secara IV setiap 8-12 jam) atau 50.000 satuan/kg BB Procain penicillin perhari diberikan 1x IM selama 10-14 hari. Bayi yang lahir dari ibu dengan syphilis boleh tetap mendapat ASI. Bila ibu tersebut masih menderita lesi pada kulit, kontak dengan bayinya harus dihindari. 6. VARICELLA (CACAR AIR/CHICKEN POX) Varicella merupakan penyakit anak-anak dan sangat jarang dijumpai dalam kehamilan dan nifas. Walaupun umumnya cacar air itu suatu penyakit ringan, namun pada wanita hamil kadang-kadang bisa menjadi berat dan dapat menyebabkan partus prematurus. Disangka bahwa telah terjadi penularan intra uterin apabila gelambung-gelambung timbul dalam 10 hari setelah kelahiran. Frekuensi cacar bawaan tidak lebih tinggi pada para bayi yang lahir dari ibu yang menderita cacar air dalam masa hamil.
Baca juga artikel dibawah ini